Rajin Ibadah hanya Untuk Mengejar Dunia
Pertanyaan:
Bolehkah beribadah dengan mengharap balasan di dunia? Misalnya:
- Solat Tahajud pada malam ujian nasional dalam rangka supaya diberikan kelulusan saat pengumumman ujian.
- Bersedekah 10 ribu rupiah dan berharap di balas oleh Allah di dunia sebesar 100 ribu rupiah.
Apakah bisa dikaitkan dengan kisah 3 orang yang terjebak dalam
gua, kemudian Allah membantu mereka keluar dari gua, atas amalan yang
mereka kerjakan sebelumnya?
Dari: Fajar Hari Prabowo
Jawaban:
Salah satu fenomena yang sering kita jumpai ketika musim UN, beberapa
siswa spontan menjadi sosok yang rajin puasa sunah dan tahajud demi
meraih kesuksesan ketika UN. Jika kebiasaan ini selanjutnya dirutinkan
dan dikerjakan secara istiqamah, mungkin tidak menjadi tidak masalah.
Namun sayangnya, umumnya yang terjadi, kebiasaan ini tiba-tiba luntur
begitu UN selesai. Ada apakah gerangan dengan puasa & tahajudnya?
Apakah mereka rajin puasa & tahajud hanya
demi UN? Bagaimana nasib amal yang mereka kerjakan?
Berikut cuplikan artikel sangat indah, yang akan mengupas hal ini. Artikel ini kami ambil dari situs
http://manisnyaiman.com, oleh Ustadz Abdullah Taslim, MA.
Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan hati
yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena besarnya
dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan
dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh
Allah dalam semua kebaikan.
Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang
paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada
keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu.” (
Jaami’ul ‘uluumi wal hikam, hlm. 17)
Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri
berkata: “Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang
lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas).” (
Hilyatu Thaalibil ‘ilmi, hlm. 11)
Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Adapun
kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu
(ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit
orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang
menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan
sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari
pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan
keinginannya. Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk
Allah (semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya.” (
Al-Jawaabul Kaafi, hlm. 94).
Keinginan/niat duniawi pada amal kebaikan
Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai
kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’, adalah terselipnya niat
dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan manusia.
Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena sering menimpa seorang
yang berbuat amak kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat
tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai
bahkan merusak amal kebaikan seorang hamba.
Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا
نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ.
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ
مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh
(balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan
dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak
kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa
menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk dari
perbuatan riya’ (memperlihatkan amal shaleh untuk mendapatkan pujian dan
sanjungan), karena seorang yang menginginkan dunia dengan amal shaleh
yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam
meyoritas amal shaleh yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan
riya’, karena riya’ biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan
pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun demikian,
orang yang yang beriman tentu harus mewaspadai semua keburukan tersebut.
(
Fathul Majiid, hlm. 451)
Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab
at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini,
yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang
menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya. (
Fathul Majiid, hlm. 451)
Syaikh Shaleh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh berkata: “Termasuk
syirik kecil adalah seorang yang menginginkan (balasan di) dunia dengan
amal-amal ketaatan (yang dilakukan)nya dan tidak menghendaki (balasan
di) akhirat…Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia secara asal,
menjadi tujuan (utama) dan (sumber) penggerak (diri mereka) adalah
orang-orang kafir. Oleh karena itu, ayat ini (firman Allah di atas)
turun berkenaan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi, lafazh ayat ini
mencakup semua orang (kafir maupun mukmin) yang menginginkan kehidupan
(balasan) duniawi dengan amal shaleh (yang dilakukan)nya.” (
at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid, hlm. 404-405)
Makna dan Perbedaannya dengan riya’
‘Abdullah bin ‘Abbas berkata tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia”, artinya balasan duniawi, “dan
perhiasannya”, artinya harta. “Niscaya kami berikan kepada mereka
balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna”, artinya: Kami
akan sempurnakan bagi mereka balasan amal perbuatan mereka (di dunia)
berupa kesehatan dan kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan. (
Fathul Majiid, hlm. 451).
Semakna dengan ucapan di atas, Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri
berkata: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai) target (utama),
niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas kebaikan-kebaikannya
(dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat (kelak) dia tidak
memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun orang yang beriman,
maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di dunia dan memperoleh
pahala di akhirat (kelak)” (
Tafsir At-Thabari, 15/264).
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin mengisyaratkan makna lain
dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah
bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas kerena Allah , akan
tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta, kedudukan
duniawi, kesehatan pada dirinya, keluarganya atau keturunannya, dan
yang semacamnya. Maka dengan amal kebaikannya dia menginginkan manfaat
duniawi dan melalaikan/melupakan balasan akhirat. (
al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid, 2/242)
Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan perbuatan riya’, maka
perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan riya’,
bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi dalam beramal
shaleh. (
at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid, hlm. 404)
Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan
dengan amal shaleh, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk
mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan amal
shaleh, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan lain-lain. (
Taisiirul ‘Aziizil Hamiid, hlm. 473 dan Fathul Majiid, hlm. 451).
Dalil-dalil yang Menunjukkan Tercela dan Buruknya Perbuatan Ini
Allah berfirman:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا
نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ.
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ
مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh
(balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan.” (QS Huud: 15-16).
Ayat yang mulia ini dibatasi kemutlakannya dengan firman Allah dalam ayat lain:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا
مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا
مَذْمُومًا مَدْحُورًا}
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang Kami kehendaki
bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan baginya neraka
Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS al-Israa’: 18).
Maka kesimpulan makna kedua ayat ini adalah: orang yang menginginkan
balasan duniawi dengan amal shaleh yang dilakukannya, maka Allah akan
memberikan balasan duniawi yang diinginkannya jika Allah menghendaki,
dan terkadang dia tidak mendapatkan balasan duniawi yang diinginkannya
karena Allah tidak menghendakinya. (Simak Fathul Majiid, hlm. 452).
Oleh sebab itu, semakin jelaslah keburukan dan kehinaan perbuatan ini
di dunia dan akhirat, karena keinginan orang yang melakukannya untuk
mendapat balasan duniawi terkadang terpenuhi dan terkadang tidak
terpenuhi, semua tergantung dari kehendak Allah . Inilah balasan bagi
mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan balasan
kebaikan sedikitpun, bahkan mereka akan mendapatkan azab neraka Jahannam
dalam keadaan hina dan tercela.
Benarlah Rasulullah yang bersabda: “
Barangsiapa yang (menjadikan)
dunia tujuannya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan
menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di
hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi
melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang
(menjadikan) akhirat niatnya maka Allah akan menghimpunkan urusannya,
menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta
benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya).” (HR Ibnu Majah 4105, Ahmad (5/183), dan dishahihkan Ibnu Hibban, al-Bushiri dan al-Albani).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda tentang buruknya perbuatan ini:
“Binasalah
(orang yang menjadi) budak (harta berupa) emas, celakalah (orang yang
menjadi) budak (harta berupa) perak, binasalah budak (harta berupa)
pakaian indah, kalau dia mendapatkan harta tersebut maka dia akan ridha
(senang), tapi kalau dia tidak mendapatkannya maka dia akan murka.
Celakalah dia tersungkur wajahnya (merugi serta gagal usahanya), dan
jika dia tertusuk duri (bencana akibat perbuatannya) maka dia tidak akan
lepas darinya”. (HR. al-Bukhari, 2730)
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keburukan dan kehinaan
perbuatan ini, karena orang yang melakukannya berarti dia menjadikan
dirinya sebagai budak harta, karena harta menjadi puncak kecintaan dan
keinginannya dalam setiap perbuatannya, sehingga kalau dia
mendapatkannya maka dia akan ridha (senang), tapi kalau tidak maka dia
akan murka.
Kemudian Rasulullah menggabarkan keadaannya yang buruk bahwa orang
tersebut jika ditimpa keburukan atau bencana akibat perbuatannya maka
dia tidak bisa terlepas darinya dan dia tidak akan beruntung selamanya.
Maka dengan perbuatan buruk ini dia tidak mendapatkan keinginannya dan
dia pun tidak bisa lepas dari keburukan yang menimpanya. Inilah keadaan
orang yang menjadi budak harta.
Na’uudzu billahi min dzaalik.
Beberapa Bentuk dan Contoh Keinginan Duniawi Pada Amal Kebaikan
Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh rahimahullah menukil
keterangan Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah tentang
bentuk-bentuk amal shaleh yang dikerjakan dengan keinginan untuk
mendapatkan balasan duniawi, sebagai berikut:
- Amal shaleh yang dikerjakan oleh banyak orang dengan mengharapkan
wajah Allah (ikhlas), berupa sedekah, shalat, (menyambung) silaturahim,
berbuat baik kepada orang lain, tidak menzhalimi orang lain, dan
lain-lain, yang dilakukan atau ditinggalkan seseorang ikhlas karena
Allah, akan tetapi dia tidak menginginkan pahala di akhirat, dia hanya
menginginkan balasan (duniawi) dari Allah, dengan (Allah ) menjaga
hartanya dan mengembangkannya, atau memelihara istri dan anggota
keluarganya, atau melanggengkan limpahan nikmat/kekayaan bagi
keluarganya. Tidak ada niatnya untuk meraih Surga dan menyelamatkan diri
dari (siksa) Neraka. Maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal
perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan kebaikan) untuknya
di akhirat (kelak). Bentuk inilah yang disebutkan oleh (Shahabat yang
mulia) Ibnu ‘Abbas .
- Ini lebih besar dan lebih menakutkan dari bentuk yang pertama, dan
inilah yang disebutkan oleh Imam Mujahid tentang (makna) ayat di atas
dan sebab turunnya, yaitu seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan
niat untuk riya’ (memamerkannya) kepada orang lain, bukan untuk mencari
pahala akhirat.
- Seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan tujuan (untuk
mendapatkan) harta, seperti orang yang berhaji untuk memperoleh harta,
berhijrah untuk mendapatkan (balasan) duniawi atau untuk menikahi
seorang wanita, atau berjihad untuk mendapatkan ganimah(harta rampasan
perang). Bentuk ini juga disebutkan (oleh sebagian dari ulama salaf)
ketika menafsirkan ayat ini. (Contoh lainnya) seperti seorang yang
menuntut ilmu karena (keberadaan) madrasah milik keluarganya, usaha
mereka, atau kedudukan mereka, atau seorang yang mempelajari al-Qur-an
dan kontinyu melaksanakan shalat fardhu karena tugasnya di mesjid,
sebagaimana ini sering terjadi.
- Seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan niat ikhlas
karena Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi dia
pernah melakukan perbuatan kufur yang menjadikannya keluar dari agama
Islam. Seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani jika mereka beribadah
kepada Allah, bersedekah, atau berpuasa dengan mengharapkan wajah Allah
dan (balasan) di negeri Akhirat, juga seperti kebanyakan dari kaum
muslimin yang pernah melakukan kekafiran atau kesyirikan besar yang
mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan, meskipun mereka
melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas mengharapkan ganjaran
pahala dari-Nya di negeri Akhirat, akan tetapi mereka pernah melakukan
perbuatan (kufur atau syirik) yang mengeluarkan mereka dari agama Islam
dan ini menjadikan semua amal perbuatan mereka tidak diterima (oleh
Allah ). Bentuk ini juga disebutkan dalam penafsiran ayat ini dari Anas
bin Malik dan selain beliau.
Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menyebutkan beberapa contoh keinginan duniawi dengan amal shaleh yaitu:
- Orang yang menginginkan harta, misalnya orang yang melakukan adzan
(di masjid) untuk mendapatkan upah/gaji (sebagai muadzdzin), atau orang
yang berhaji untuk mendapatkan harta.
- Orang yang menginginkan kedudukan, misalnya orang yang belajar untuk mendapatkan ijazah sehingga kedudukannya semakin tinggi.
- Orang yang menginginkan hilangnya gangguan, penyakit dan keburukan
dari dirinya, misalnya orang yang beribadah kepada Allah supaya Allah
memberikan baginya balasan di dunia berupa kecintaan manusia kepadanya
(sehingga mereka tidak menyakitinya), dihilangkan keburukan dari
dirinya, dan lain-lain.
- Orang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk memalingkan
wajah manusia kepadanya (menjadikan mereka kagum kepadanya) dengan
mencintai dan menghormatinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain.
(al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid, 2/243).
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya
dan menjadi sebab taufik dari Allah bagi kita untuk memurnikan tauhid
dan penghambaan diri kepada-Nya serta penjagaan dari segala bentuk
kesyirikan yang besar maupun kecil.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 12 Rabi’uts tsani 1434
Ustadz Abdullah bin Taslim, MA
Sumber: www.ManisnyaIman.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.comhttp://assunnah.net/kategori/doa-lulus-ujian